Kamis, 22 November 2012

PENGARUH SITUASI KONSUMEN

Pengaruh situasi dapat dipandang sebagai pengaruh yang timbul dari faktor yang khusus untuk waktu dan tempat yang spesifik yang lepas dari karakteristik konsumen dan karakteristik obyek. Situasi konsumen adalah faktor lingkungan sementara yang menyebabkan suatu situasi dimana perilaku konsumen muncul pada waktu tertentu dan tempat tertentu.

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaruh situasi terhadap konsumen memiliki pengertian sebagai suatu kondisi yang dialami oleh konsumen ketika dihadapkan dengan faktor-faktor sosial yang menyebabkan konsumen melakukan suatu tindakan sebagai suatu timbal balik dari faktor-faktor sosial yang dirasakan.


A. Jenis-Jenis Situasi Konsumen

1. SITUASI KOMUNIKASI


Situasi Komunikasi adalah suasana atau lingkungan dimana konsumen memperoleh informasi atau melakukan komunikasi.

     Lingkungan informasi mengacu pada keseluruhan jajaran data yang berkaitan dengan produk yang tersedia bagi konsumen. Sifat lingkungan informasi akan menjadi determinan penting dari perilaku pasar ketika konsumen terlibat didalam semacam bentuk pengambilan keputusan non kebiasaan. Sebagian dari karakteristik lingkungan yang utama mencakupi ketersediaan informasi, jumlah beban informasi, dan cara dimana informasi disajikan dan diorganisasikan.

·   Kesediaan informasi sangat penting. Tidak adanya informasi mengenai kinerja dari merek yang bersaing mengenai beberapa sifat akan menghalangi pemakaian informasi tersebut selama pengambilan keputusan. Ketersediaan informasi kadang akan bergantung kepada kemampuan konsumen mendapatkan kembali informasi dari ingatan.


Kamis, 01 November 2012

EVALUASI ALTERNATIF SEBELUM PEMBELIAN

KONSEP DASAR PENGAMBILAN KEPUTUSAN KONSUMEN

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, seorang konsumen harus memilih produk dan/atau jasa yang akan dikonsumsinya. Banyaknya pilihan yang tersedia, kondisi yang dihadapi, serta pertimbangan-pertimbangan yang mendasari akan membuat pengambilan keputusan satu individu berbeda dari individu lainnya. Pada saat seorang konsumen baru akan melakukan pembelian yang pertama kali akan suatu produk, pertimbangan yang akan mendasarinya akan berbeda dari pembelian yang telah berulang kali dilakukan. Pertimbangan-pertimbangan ini dapat diolah oleh konsumen dari sudut pandang ekonomi, hubungannya dengan orang lain sebagai dampak dari hubungan sosial, hasil analisa kognitif yang rasional ataupun lebih kepada ketidakpastian emosi (unsur emosional).


PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN OLEH KONSUMEN

Proses pengambilan keputusan diawali dengan adanya kebutuhan yang berusaha untuk dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan ini terkait dengan beberapa alternatif sehingga perlu dilakukan evaluasi yang bertujuan untuk memperoleh alternatif terbaik dari persepsi konsumen. Di dalam proses membandingkan ini konsumen memerlukan informasi yang jumlah dan tingkat kepentingannya tergantung dari kebutuhan konsumen serta situasi yang dihadapinya.

Keputusan pembelian akan dilakukan dengan menggunakan kaidah menyeimbangkan sisi positif dengan sisi negatif suatu merek (compensatory decision rule) ataupun mencari solusi terbaik dari perspektif konsumen (non-compensatory decision rule), yang setelah konsumsi akan dievaluasi kembali.
(a)    Setelah konsumen menerima pengaruh dalam kehidupannya maka mereka sampai pada keputusan membeli atau menolak produk. 
Pemasar dianggap berhasil kalau pengaruh-pengaruh yang diberikannya menghasilkan pembelian dan atau dikonsumsi oleh konsumen. Keputusan konsumen, tingkatan-tingkatan dalam pengambilan keputusan, serta pengambilan keputusan dari sudut pandang yang berbeda bukan hanya untuk menyangkut keputusan untuk membeli, melainkan untuk disimpan dan dimiliki oleh konsumen.

(b)   Konsep Keputusan
Keputusan adalah suatu pemilihan tindakan dari dua atau lebih pilihan alternatif. Bila seseorang dihadapkan pada dua pilihan, yaitu membeli dan tidak membeli tapi memilih membeli, maka dia ada dalam posisi membuat keputusan. Semua orang mengambil keputusan setiap hari dalam hidupnya tanpa disadari. Dalam proses pengambilan keputusan, konsumen harus melakukan pemecahan masalah dalam kebutuhan yang dirasakan dan keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dengan konsumsi produk atau jasa yang sesuai.  


MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN KONSUMEN

Model-model pengambilan keputusan telah dikembangkan oleh beberapa ahli untuk memahami bagaimana seorang konsumen mengambil keputusan pembelian. Model-model pengambilan keputusan kontemporer ini menekankan kepada aktor yang berperan pada pengambilan keputusan yaitu konsumen, serta lebih mempertimbangkan aspek psikologi dan sosial individu.

Konsumerisme Konsumerisme adalah suatu gerakan sosial yang dilakukan oleh berbagai pihak yang bertujuan untuk meningkatkan posisi konsumen dalam berinteraksi dengan pihak penjual, baik sebelum, pada saat, dan setelah konsumsi dilakukan. Konsumen perlu mengetahui hakhaknya secara jelas sehingga apabila terjadi ketidaksesuaian yang dirasakan pada tiga fase tersebut, konsumen akan dapat mengidentifikasi letak ketidaksesuaiannya, di mana karena sumber permasalahan dapat berasal dari kecerobohan konsumen itu sendiri.

Perkembangan teknologi informasi dan era perdagangan bebas memunculkan masalah konsumerisme baru yang harus diwaspadai oleh berbagai pihak sehingga dapat mencegah dampak yang merusak bagi konsumen.

ANALISIS KEPUTUSAN PEMBELIAN OLEH KONSUMEN
  1. Sudut pandang ekonomis, konsumen sebagai orang yang membuat keputusan secara rasional harus mengetahui semua kelemahan dan kekuatan produk atau jasa yang dibelinya serta mempertimbangkan kegunaannya untuk jangka pendek, menengah dan panjang.
  1. Sudut pandang kognitif, konsumen merupakan pengelolah informasi yang selalu mencari tahu apa saja tentang produk dan jasa yang dibutuhkan. Pengelola informasi selalu berujung pada pilihan unutk membeli atau menolak produk tersebut.
  1. Sudut pandang emosional, konsumen yang memiliki sifat cenderung mengkoleksi atau memfavoritkan suatu barang atau jasa dan akan melakukan apa pun demi mendapatkannya termasuk dalam golongan ini, sehingga anggapan emotional man itu tidak rasional adalah tidak benar. Tetapi, bila sudah mendapatkan produk yang membuat perasaan mereka lebih baik, maka keputusan yag mereka ambil merupakan keputusan rasional.

PENGAMBILAN KEPUTUSAN OLEH KONSUMEN
  1. Pengaruh eksternal
  • Keluarga
  • sumber informasi
  • kelas social
  • budaya
 
     2.  Pengambilan keputusan pada konsumen
  • sadar akan kebutuhan
  • mencari sebelum membeli/ survey
  • mengevaluasi produk
 
     3.  Area psikologis
  • motivasi
  • persepsi
  • pembelajaran
  • kepribadian
  • sikap
 
     4.  Perilaku setelah keputusan pembelian
  • percobaan
  • pembelian ulang

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN KONSUMEN

Proses pengambilan keputusan membeli pada konsumen dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat individual (internal) maupun yang berasal dari lingkungan (eksternal). Engel (1995) membaginya sbb:

a. Faktor individual (internal)


  • Sumber daya konsumen 
Waktu, uang dan perhatian merupakan sumber daya yang dimiliki konsumen yang digunakan dalam setiap situasi pengambilan keputusan.

  • Keterlibatan dan motivasi 
Keterlibatan merupakan tingkat dari kepentingan atau ketertarikan personal yang ditimbulkan oleh stimulus dalam situasi tertentu. Terhadap tingkat keterlibatan yang hadir, konsumen di motivasi untuk bertindak dengan pertimbangan untuk meminimalkan resiko dan untuk memaksimalkan keutungan yang didapat dari penggunaan dan pembelian. Keterlibatan adalah refleksi dari motivasi yang kuat di dalam bentuk relevansi pribadi yang sangat dirasakan terhadap suatu produk atau jasa di dalam konteks tertentu.


  • Pengetahuan 
Pengetahuan konsumen terdiri dari informasi yang disimpan di dalam ingatan. Informasi yang dimiliki konsumen mengenai produk akan sangat mempengaruhi pola pembelian mereka.

  • Sikap 
Sikap didefinisikan sebagai evaluasi menyeluruh, intensitas, dukungan dan kepercayaan adalah sifat penting dari sikap. Pencarian informasi dan evaluasi yang luas atas pelbagai kemungkinan akan menghasilkan pembentukan suatu sikap terhadap alternatif-alternatif yang dipertimbangkan.

  • Kepribadian
Kepribadian diartikan sebagai respon yang konsisten terhadap stimulus lingkungan. Kepribadian seseorang akan menentukan bagaimana seseorang mengkonsumsi suatu produk.

  • Gaya hidup 
Gaya hidup diartikan sebagai pola dimana orang hidup dan menghabiskan waktu serta uang. Gaya hidup yang dianut seseorang juga menentukan dalam pemilihan serta keputusan pembelian sebuah produk.

  • Demografi 
Karakteristik demografi seperti usia, pendapatan dan pendidikan juga membedakan bagaimana seseorang terlibat dalam pengambilan keputusan konsumen.



b. Faktor lingkungan (eksternal)

  • Budaya
Budaya dalam perilaku konsumen mengacu pada nilai, gagasan, artefak, dan simbol-simbol lain yang bermakna yang membantu individu untuk berkomunikasi, melakukan penafsiran dan evaluasi sebagai anggota masyarakat. Perbedaan budaya juga menentukan jenis produk yang dipilih untuk dikonsumsi.

  • Kelas sosial
Kelas sosial adalah pembagian di dalam masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berbagi nilai, minat, dan perilaku yang sama. Status kelas sosial menghasilkan bentuk-bentuk perilaku konsumen yang berbeda.

  • Pengaruh kelompok dan keluarga
Keluarga adalah kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih yang dihubungkan melalui darah, perkawinan atau adopsi dan tinggal bersama. Keputusan pembelian individu sangat mungkin dipengaruhi oleh anggota lain dalam keluarganya. Kelompok juga berpengaruh dalam memberikan referensi mengenai suatu produk, toko dsb.

Sumber :
http://henzie26.blogspot.com/2010/03/evaluasi-alternatif-sebelum-pembelian.html
http://www.scribd.com/doc/79192684/Perilaku-Konsumen
http://www.scribd.com/doc/92362217/Chapter-II-Proses-Pengambilan-Keputusan-Membeli

Kamis, 11 Oktober 2012

PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN OLEH KONSUMEN



Diagnosa Perilaku Konsumen

Contoh Perilaku Konsumen


Ada empat sudut pandang dalam mendiagnosa perilaku konsumen. Pertama adalah sudut pandang ekonomis, dan kedua adalah sudut pandang pasif. Sudut pandang ketiga adalah sudut pandang kognitif dan yang terakhir adalah sudut pandang emosional.

§        Sudut Pandang Ekonomis
Pandangan ini melihat konsumen sebagai orang yang membuat keputusan secara rasional. Ini berarti bahwa konsumen harus mengetahui semua alternatif produk yang tersedia dan harus mampu membuat peringkat dari setiap alternatif yang ditentukan, dilihat dari kegunaan dan kerugiannya serta harus dapat mengidentifikasi satu alternatif yang terbaik. Menurut para ahli ilmu sosial, model economic man ini tidak realistis. Alasan yang mereka kemukakan adalah:

(1)          Manusia memiliki keterbatasan kemampuan, kebiasaan, dan gerak. Orang yang tidak terampil berkomunikasi akan malas bertanya. Orang yang tidak suka pergi jauh, membeli di warung sebelah rumah.

(2)          Manusia dibatasi oleh nilai-nilai dan tujuan. Seseorang yang ingin menghangatkan badan di malam yang dingin, tidak selalu pergi membeli ronde ke kota. Alasan pertama karena dia perempuan dan perempuan tidak pantas pergi malam-malam di negeri ini; karena tujuaanya hanya menghangatkan badan. Jadi, kopi panas buatan sendiri pun bisa memenuhi tujuan.

(3)          Manusia dibatasi oleh pengetahuan yang mereka miliki. Tidak semua informasi mengenai produk bisa mereka pahami. Jadi, evaluasi yang ingin mereka bentuk pun tidak akan setepat economic man.

Sehubungan dengan itu, konsumen tidak membuat keputusan yang rasional, tetapi keputusan yang memuaskan adalah keputusan yang cukup baik.

§         Sudut Pandang Pasif
Sudut pandang ini berlawanan dengan sudut pandang ekonomis. Pandangan ini menyatakan bahwa konsumen pada dasarnya pasrah pada kepentingannya sendiri dan menerima secara pasif usaha-usaha promosi dari para pemasar. Kenyataannya, bentuk-bentuk promosi yang dilakukan pemasar juga mengenai sasaran. Konsumen dianggap sebagai pembeli yang impulsif dan rasional. Kelemahan pandangan ini adalah bahwa pandangan ini tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa konsumen memainkan peranan penting dalam setiap pembelian yang mereka lakukan; baik dalam hal mencari informasi tentang berbagai alternatif produk, maupun dalam menyeleksi produk yang dianggap akan memberikan kepuasan terbesar.

§         Sudut Pandang Kognitif
Sudut pandang ini menganggap konsumen sebagai cognitive man atau sebagai problem solver. Menurut pandangan ini, konsumen merupakan pengolah informasi yang senantiasa mencari dan mengevaluasi informasi tentang produk dan gerai. Pengolahan informasi selalu berujung pada pembentukan pilihan, selanjutnya terjadi inisiatif untuk membeli atau menolak produk. Jadi, cognitive man dapat diibaratkan berdiri diantara economic man dan passive man. Cognitive man juga seringkali mempunyai pola respons tertentu terhadap informasi yang berlebihan dan seringkali pula mengambil jalan pintas untuk memfasilitasi pengambilan keputusannya (heuristic) untuk sampai pada keputusan yang memuaskan. Seseorang menginginkan parfum untuk memenuhi kebutuhan sosialisasinya akan mencari informasi sebanyak mungkin dan menentukan alternatif, tetapi bisa saja dia menentukan pilihan berdasarkan harga.

§         Sudut Pandang Emosional
Pandangan ini menekankan emosi sebagai pendorong utama sehingga konsumen membeli suatu produk. Favoritisme merupakan salah satu bukti bahwa seseorang berusaha mendapatkan produk favoritnya, apa pun yang terjadi. Benda-benda yang menimbulkan kenangan juga dibeli berdasarkan emosi. Misalkan orang suka sekali membeli sticker sepak bola, kartu baseball, dan sebagainya, dengan harga tidak murah, karema didorong oleh emosi belaka.

Jadi perasaan dan suasana hati sangat berperan dalam pembelian yang emosional.dekorasi gerai, cahaya, warna, aroma, musik dan sebagainya dipakai pemasar untuk mempengaruhi perasaan dan suasana hati. Tetapi jangan sampai terperangkap pada anggapan bahwa emotional man itu tidak rasional. Mendapatkan produk yang membuat perasaannya lebih baik merupakan keputusan yang rasional. 


Sumber : Prasetijo, Dra. Ristiyanti dan MBA Prof. John J.O.I Ihalauw,Ph.D. 2004.Perilaku Konsumen. Yogyakarta: penerbit ANDI.

Sumber Gambar : http://soerya.surabaya.go.id/AuP/e-DU.KONTEN/edukasi.net/Ekonomi/Perilaku.Konsumen/images/image2.jpg

Jumat, 05 Oktober 2012

Peranan Bahasa Indonesia di Masa Kini

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-o6qhoICvjlFir3-gBriXbSDxbyMWktPmjH07zMMiCN7hKWzxY7Z5M9xAxQrIgXsj-oSQNPtojcLpq9H_YES9-i9Avs7y4TCVixSKWLKc8I4JqnvdhLtRWqimhyphenhyphenXM3XuSLh6Ddn7rhUY/s1600/bhasa-indo.jpg

Bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia untuk dapat mengemukakan pendapat dengan menggunakan alat ucap manusia. Bahasa berperan penting sebagai identitas suatu bangsa dan negara. Sebagai sarana pembinaan jati diri bangsa, bahasa Indonesia senantiasa di bina dan dipelihara oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terpenting di negara Republik Indonesia. Mengapa bahasa Indonesia bisa dikatakan terpenting di negara kita? Karena bahasa Indonesia itu bersumber pada sejarah ikrar Sumpah Pemuda 1928 dan pada UUD 1945 kita yang didalamnya tercantum semboyan khusus yang menyatakan bahwa "Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia". Di samping itu, masih ada beberapa alasan lain mengapa bahasa Indonesia mendapat perhatian penting di antara beragam bahasa daerah di seluruh nusantara yang masing-masing sangat penting bagi penuturnya sebagai bahasa ibu. Penting tidaknya suatu bahasa dapat didasari sebagai patokan seperti jumlah penuturan, luas penyebaran dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya.

http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/09/1348560119574882003.jpg
Bahasa Indonesia memiliki peran yang dapat menentukan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan berfungsi sangat efektif sebagai alat komunikasi antar budaya di seluruh Nusantara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Negara Indonesia harus terus di mantapkan dan di terapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pada dasarnya peranan bahasa Indonesia dari waktu ke waktu dikatakan tidak mengalami perubahan. Artinya peranan bahasa Indonesia seharusnya berlaku seharusnya berlaku untuk sepanjang masa. Hal yang perlu dikembangkan yaitu memberikan perhatian yang lebih khusus pada peran tertentu sesuai dengan perkembangan iptek dan sebagai sarana pembinaan budaya bangsa dari pengaruh lingkungan luar.  Menurut saya, perkembangan iptek dalam hubungan persatuan dan kesatuan bangsa hendaknya dipusatkan pada bahasa Indonesia berkaitan dengan bahasa asing. Untuk itu, perlunya interaksi antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing.

Kamis, 05 Juli 2012

Sedekah dan Manfaatnya

Tahukah kalian,, apa sedekah itu?? 
Sedekah berasal dari kata bahasa Arab yaitu shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas oleh para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu' (sedekah secara spontan dan sukarela).

sedekah ialah suatu pemberian yang diberikan oleh seorang kepada orang lain secara sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu.

 Ternyata Sedekah itu mempunyai banyak manfaat dan syafaatnya. Diantaranya sebagai berikut :

1. Sedekah bisa menjauhkan diri dari bencana dan malapetaka.

2. Sedekah bisa menjadi obat dari berbagai penyakit di tubuh.

3. Sedekah bisa melindungi kita dari berbagai cobaan.

4. Sedekah bisa menjadi ajang silaturahmi bagi sesama muslim.

5. Sedekah dapat memperpanjang umur kita.

6. Sedekah dapat mendatangkan jodoh.

7. Sedekah dapat memberi pahala yang besar.

8. Sedekah sebagai wasilah menambah rezeki.
 
Sudahkah Anda bersedekah?

Sumber : sedekahindahberkah.blogspot.com/2010/03/sedekah-berkah-dan-indah.html
                 dan Sahabat saya.

Selasa, 03 Juli 2012

KONDISI MASYARAKAT DALAM OTONOMI DAERAH

BAB I  PEMBUKAAN

Pengertian “otonom” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara bahasa adalah “berdiri sendiri” atau “dengan pemerintahan sendiri”. Sedangkan “daerah” adalah suatu “wilayah” atau “lingkungan pemerintah”.Secara istilah “otonomi daerah” adalah “wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri.”

Dan pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.

Otonomi daerah menurut UU No.32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu daerah otonom dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 dijelaskan  selanjutnya  yang disebut    daerah,     adalah    kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.

Dalam otonomi daerah ada prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan pembantuan yang dijelaskan dalam UU No.32 tahun 2004 sebagai berikut:
  1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang   pemerintahan    oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Dekonsentrasi  adalah pelimpahan wewenang   pemerintahan   oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
  3. Tugas pembantuan adalah penugasan  dari    Pemerintah    kepada daerah dan/atau  desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari  pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

 A.  LATAR BELAKANG

Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah.
Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.

Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah.

Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN.

Akibat lebih jauh dari terlalu sibuk mengurusi proyek di daerah, membuat pejabat di pemerintahan nasional tidak ada waktu untuk belajar tentang situasi global, tentang international relation, international economy dan international finance. Mereka terlalu sibuk menggunakan waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang seharusnya bisa diurus pemerintah daerah. Akibatnya mereka tidak bisa mengatasi masalah ketika krisis ekonomi datang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah karena ketiadaan kewenangan dan uang yang cukup. Semua dipusatkan di Jakarta untuk diurus. Kebijakan ini telah mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar.

Bisa dikatakan sentralisasi is absolutely bad. Dan otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri. Jadi ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman pemerintah daerah.

Karena itu, ketika RI diumumkan di Jakarta, daerah-daerah mengumumkan persetujuan dan dukungannya. Misalnya pemerintahan di Jakarta, sulawesi, sumatera dan Kalimantan mendukung. Itu menjadi bukti bahwa pemerintahan daerah sudah ada sebelumnya. Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri.
Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Maka, tidak ada penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi, pengakuan kewenangan.

Lahirnya reformasi tahun 1997 akibat ambruknya ekonomi Indonesia dengan tuntutan demokratisasi telah membawa perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya pola hubungan pusat daerah. Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5 Tahun 1974 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan keadaan.
Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah. Undang-Undang Otonomi Daerah bertujuan untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah merealisasikan aspirasinya dengan memberikan kewenangan yang luas yang sebelumnya tidak diberikan ketika masa orde baru.

Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya.

Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.

 B.  TUJUAN

Adapun tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut :
  1. Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
  2. Pengembangan kehidupan demokrasi.
  3. Keadilan.
  4. Pemerataan.
  5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
  6. Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
  7. Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

 

BAB II  PEMBAHASAN


Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah.  Ia melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
  1. Kewenangan yang tumpang tindih Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi.
  2. Anggaran Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
  3. Pelayanan Publik Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
  4. Politik Identitas Diri Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis
  5. Orientasi Kekuasaan Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
  6. Lembaga Perwakilan Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
  7. Pemekaran Wilayah Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional  secara keseluruhan.
  8. Pilkada Langsung Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.

Era otonomi daerah berlangsung lebih dari satu dekade sejak tahun 2001. Kendati ada pengakuan publik terhadap perkembangan fisik di sejumlah daerah, banyak hal yang dinilai masih rawan. Selain ada kekhawatiran atas merosotnya kualiatas layanan publik, merebaknya korupsi di wilayah yang telah dimekarkan juga sangat banyak mengkhawatirkan. Oleh SUSANTI AGUSTINA

Hasil jejak pendapat Litbang Kompas menunjukkan kecenderungan peningkatan kepuasan publik terhadap perbaikan dalam pendidikan, kesehatan, dan sarana ekonomi. Terhadap pembangunan sarana pendidikan (sekolah). misalnya, apresiasi publik bertambah dari angka 61,8 persen (tahun 2010) menjadi 65,5 persen. Kenaikan penilaian yang relatif sama juga disuarakan responden di bidang kesehatan (rumah sakit, puskesmas) dan pembangunan sarana perekonomian (pasar, mal).

Tak hanya persoalan strategis, masalah kerapian dan pengelolaan kota juga diapresiasi responden. Meski demikian, tanggapan publik terhadap perbaikan kondisi sarana umum (jalan, jembatan) cenderung lebih rendah, yaitu 53,8 persen responden justru menyatakan ketidakpuasan. Masyarakat kecewa dengan kondisi jalan dan transportasi yang tidak mengalami kemajuan berarti di daerah mereka, selain lalu lintas kota yang semakin semrawut.

Berbeda dengan penilaian publik terhadap perkembangan kondisi infrastruktur fisik wilayah yang cenderung diapresiasi, penilaian terhadap kualitas pelayanan publik dan keberpihakan pemerintah justru dinilai relatif mengecewakan. Salah satu yang paling dominan adalah korupsi yang ditengarai 36,2 persen responden kian banyak dilakukan pada era otonomi. Hanya 14 persen responden yang menilai di daerah mereka makin sedikit elite yang korupsi.

Selain itu, soal kualitas layanan publik juga masih meragukan. Sepertiga bagian responden menyatakan kualitas layanan publik di daerahnya tetap buruk. Setali tiga uang, perhatian pemerintah kepada warga juga mengkhawatirkan. Lebih dari 41 persen responden menyatakan, perhatian pemerintah di daerah mereka tetap minim, bahkan makin minim. Masyarakat menilai pemerintah daerah (pemda) masih "dikelilingi" kepentingan politik ketimbang kepentingan masyarakat.

Merujuk data evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukan Kementrian Dalam Negeri (2011), tercatat enam kabupaten yang dinilai berkinerja rendah. Selama tahun 1999-2009 pun hanya dua daerah yang mendapatkan nilai/skor di atas 60 dari skala 1-100. Puncak Jaya dan Paniai bahkan mendapat nilai kosong untuk indikator kesejahteraan masyarakat, pemeruntahan, dan daya saing.


BAB III  PENUTUP

 A.  KESIMPULAN

Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.
 

 B.   SARAN

 Perlu ditinjau ulang penanganan otonomi daerah. di tiap daerah administrasi.

DAFTAR PUSTAKA

http://naddiiiaaa.wordpress.com/2011/04/26/otonomi-daerah/
http://www.transparansi.or.id/tentang/otonomi-daerah/
http://www.ditjen-otda.depdagri.go.id/index.php/categoryblog/165-dua-wajah-otonomi-daerah 

 

 

Template Design By:
SkinCorner