BAB I PEMBUKAAN
Pengertian “otonom”
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara bahasa adalah
“berdiri sendiri” atau “dengan pemerintahan sendiri”. Sedangkan
“daerah” adalah suatu “wilayah” atau “lingkungan pemerintah”.Secara
istilah “otonomi daerah” adalah “wewenang/kekuasaan pada suatu
wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan
wilayah/daerah masyarakat itu sendiri.”
Dan pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu
wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan
wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan
pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan
ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Otonomi daerah menurut UU No.32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 adalah
hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu daerah otonom dalam
UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 dijelaskan selanjutnya yang
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan
alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah
tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama.
Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat.
Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan,
pemerataan, dan keanekaragaman.
Dalam otonomi daerah ada prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan
pembantuan yang dijelaskan dalam UU No.32 tahun 2004 sebagai berikut:
- Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.
- Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada
daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota
dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
A. LATAR BELAKANG
Otonomi daerah muncul
sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat di
masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak
membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah
maupun masyarakat daerah.
Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat
tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah
daerah saat itu. Di masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan
diharuskan semua meminta uang ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni
dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.
Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa
cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal
dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat
pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan.
Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi proyek
di daerah.
Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20
persen uang kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan
proyek yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi
penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk mengambil
hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah
pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN.
Akibat lebih jauh dari terlalu sibuk mengurusi proyek di daerah,
membuat pejabat di pemerintahan nasional tidak ada waktu untuk belajar
tentang situasi global, tentang international relation, international
economy dan international finance. Mereka terlalu sibuk menggunakan
waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang
seharusnya bisa diurus pemerintah daerah. Akibatnya mereka tidak bisa
mengatasi masalah ketika krisis ekonomi datang dan tidak tahu apa yang
harus dilakukan.
Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak pada ketiadaan
kreativitas daerah karena ketiadaan kewenangan dan uang yang cukup.
Semua dipusatkan di Jakarta untuk diurus. Kebijakan ini telah mematikan
kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah, baik pemerintah maupun
masyarakatnya. Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah
kepada pemerintah pusat yang sangat besar.
Bisa dikatakan sentralisasi is absolutely bad. Dan otonomi daerah
adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa
orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini
berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik
Indonesia (RI) berdiri. Jadi ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman
pemerintah daerah.
Karena itu, ketika RI diumumkan di Jakarta, daerah-daerah mengumumkan
persetujuan dan dukungannya. Misalnya pemerintahan di Jakarta,
sulawesi, sumatera dan Kalimantan mendukung. Itu menjadi bukti bahwa
pemerintahan daerah sudah ada sebelumnya. Prinsipnya, daerah itu bukan
bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri.
Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada
daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional.
Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat, asumsinya menjadi
kewenangan pemerintah daerah. Maka, tidak ada penyerahan kewenangan
dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi, pengakuan
kewenangan.
Lahirnya reformasi tahun 1997 akibat ambruknya ekonomi Indonesia
dengan tuntutan demokratisasi telah membawa perubahan pada kehidupan
masyarakat, termasuk di dalamnya pola hubungan pusat daerah. Tahun 1999
menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia.
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para
anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
Daerah untuk mengoreksi UU No.5 Tahun 1974 yang dianggap sudah tidak
sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan
keadaan.
Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang
diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk
menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah.
Undang-Undang Otonomi Daerah bertujuan untuk memberdayakan daerah dan
masyarakatnya serta mendorong daerah merealisasikan aspirasinya dengan
memberikan kewenangan yang luas yang sebelumnya tidak diberikan ketika
masa orde baru.
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk
menggantikannya.
Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah daerah maka akan
membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan.
Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan
untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat
tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat
bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro strategis serta
lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons, berbagai
kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.
B. TUJUAN
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut :
- Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
- Pengembangan kehidupan demokrasi.
- Keadilan.
- Pemerataan.
- Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
- Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
- Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
BAB II PEMBAHASAN
Implementasi Otonomi
daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan banyak persoalan ketika
diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul
menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang
harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya
tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
- Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan
yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang
berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih
rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam
kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau
provinsi.
- Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat
pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik
investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan
kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang
merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah
bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi
dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan
kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih
cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan
masyarakat.
- Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan
rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan
yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang
membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah
mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan
PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga
gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan
strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
- Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah
yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang
sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi
konflik horizontal yang bernuansa etnis
- Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan
elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif.
Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba
memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan
politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen
kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
- Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan
terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini
disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya
pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan
itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk
menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur
tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
- Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan
dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu
dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara
keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi
yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari
masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih
didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan
kepentingan nasional secara keseluruhan.
- Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata
menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur
di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden.
Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan
untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial
masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung
juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat
politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak
menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.
Era otonomi daerah berlangsung lebih
dari satu dekade sejak tahun 2001. Kendati ada pengakuan publik
terhadap perkembangan fisik di sejumlah daerah, banyak hal yang dinilai
masih rawan. Selain ada kekhawatiran atas merosotnya kualiatas layanan
publik, merebaknya korupsi di wilayah yang telah dimekarkan juga sangat
banyak mengkhawatirkan. Oleh SUSANTI AGUSTINA
Hasil jejak pendapat Litbang Kompas menunjukkan
kecenderungan peningkatan kepuasan publik terhadap perbaikan dalam
pendidikan, kesehatan, dan sarana ekonomi. Terhadap pembangunan sarana
pendidikan (sekolah). misalnya, apresiasi publik bertambah dari angka
61,8 persen (tahun 2010) menjadi 65,5 persen. Kenaikan penilaian yang
relatif sama juga disuarakan responden di bidang kesehatan (rumah sakit,
puskesmas) dan pembangunan sarana perekonomian (pasar, mal).
Tak hanya persoalan strategis, masalah
kerapian dan pengelolaan kota juga diapresiasi responden. Meski
demikian, tanggapan publik terhadap perbaikan kondisi sarana umum
(jalan, jembatan) cenderung lebih rendah, yaitu 53,8 persen responden
justru menyatakan ketidakpuasan. Masyarakat kecewa dengan kondisi jalan
dan transportasi yang tidak mengalami kemajuan berarti di daerah mereka,
selain lalu lintas kota yang semakin semrawut.
Berbeda dengan penilaian publik terhadap
perkembangan kondisi infrastruktur fisik wilayah yang cenderung
diapresiasi, penilaian terhadap kualitas pelayanan publik dan
keberpihakan pemerintah justru dinilai relatif mengecewakan. Salah satu
yang paling dominan adalah korupsi yang ditengarai 36,2 persen responden
kian banyak dilakukan pada era otonomi. Hanya 14 persen responden yang
menilai di daerah mereka makin sedikit elite yang korupsi.
Selain itu, soal kualitas layanan publik
juga masih meragukan. Sepertiga bagian responden menyatakan kualitas
layanan publik di daerahnya tetap buruk. Setali tiga uang, perhatian
pemerintah kepada warga juga mengkhawatirkan. Lebih dari 41 persen
responden menyatakan, perhatian pemerintah di daerah mereka tetap minim,
bahkan makin minim. Masyarakat menilai pemerintah daerah (pemda) masih
"dikelilingi" kepentingan politik ketimbang kepentingan masyarakat.
Merujuk data evaluasi kinerja
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukan Kementrian Dalam
Negeri (2011), tercatat enam kabupaten yang dinilai berkinerja rendah.
Selama tahun 1999-2009 pun hanya dua daerah yang mendapatkan nilai/skor
di atas 60 dari skala 1-100. Puncak Jaya dan Paniai bahkan mendapat
nilai kosong untuk indikator kesejahteraan masyarakat, pemeruntahan, dan
daya saing.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan
alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah
tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama.
Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat.
Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan,
pemerataan, dan keanekaragaman.
B. SARAN
Perlu ditinjau ulang penanganan otonomi daerah. di tiap daerah administrasi.
DAFTAR PUSTAKA
http://naddiiiaaa.wordpress.com/2011/04/26/otonomi-daerah/
http://www.transparansi.or.id/tentang/otonomi-daerah/
http://www.ditjen-otda.depdagri.go.id/index.php/categoryblog/165-dua-wajah-otonomi-daerah